IDNPRO.CO, Jakarta — Sejumlah pengamat menganggap krisis ekonomi hingga politik yang menerpa Sri Lanka saat ini mirip dengan fenomena Arab Spring satu dekade silam.
Salah satu peneliti di badan think tank Millennium Project, Asanga Abeyagoonasekera, melihat kemiripan ini dari akar masalah krisis yang memicu aksi protes besar-besaran di Sri Lanka saat ini dengan Arab Spring.
“Seperti Arab Spring di Sri Lanka. Polanya benar-benar sama dengan Arab Spring: rakyat bergerak untuk mengakhiri pemerintahan otoriter, kesalahan manajemen ekonomi, dan kekuasaan keluarga, kemudian mendesak demokrasi,” ucap Abeyagoonasekera kepada CNBC.
Arab Spring sendiri merupakan fenomena aksi protes besar-besaran di sejumlah negara Arab di awal medio 2010-an. Bermula dari Tunisia, fenomena itu merembet ke negara Arab lain, seperti Mesir, Libya, dan Suriah.
Aksi besar-besaran ini memaksa setidaknya empat pemimpin otokrat dilengserkan, termasuk Presiden Hosni Mubarak, yang sudah bolak-balik memegang takhta di Mesir.
Di Sri Lanka, keluarga Rajapaksa juga sempat berkuasa selama bertahun-tahun di Sri Lanka. Klan itu kembali merebut kuasa ketika Gotabaya Rajapaksa terpilih menjadi presiden pada 2019 lalu.
Sejak Gotabaya berkuasa, pemerintahannya memang tak jauh dari dugaan korupsi. Amarah warga kian tersulut karena pemerintah dianggap tak becus mengurus perekonomian hingga gagal membayar utang.
Akibatnya, Sri Lanka dicekik krisis ekonomi. Ketika krisis menyulut demonstrasi besar-besaran, puluhan menteri mengundurkan diri, sementara 41 anggota parlemen juga angkat kaki dari koalisi berkuasa.
Seorang peneliti dari Institut Studi Asia Selatan di Universitas Nasional Singapura, Chulanee Attanayake, mengakui bahwa layaknya krisis Sri Lanka, Arab Spring juga dipicu masalah ekonomi dan korupsi di Tunisia.
“Sri Lanka juga mengalami protes anti-pemerintah sebagai tanggapan atas kemunduran ekonomi, inflasi tinggi, dan kekurangan bahan pokok. Slogan-slogan yang digunakan di Arab Spring juga dipakai [di Sri Lanka],” tutur Attanayake.
Namun, ahli ekonomi Asia dari badan think tank Economic Intelligence Unit, Fung Siu, menganggap krisis di Sri Lanka tak dapat disamakan dengan fenomena Arab Spring.
“Pemicu masalah Arab Spring sudah menumpuk bertahun-tahun, sementara masalah di Sri Lanka bisa dilacak sejak pandemi dan pilihan-pilihan kebijakan yang buruk,” katanya.(*)
Sumber: cnnindonesia.com