IDNPRO.CO, JAKARTA – Cawapres nomor urut 3 Mahfud Md berbicara terkait kecurangan dalam pemilu. Mahfud menyebut Mahkamah Konstitusi pernah memutuskan pembatalan hasil pemilu.
Awalnya, Mahfud tak menampik pernah mengatakan pihak yang kalah dalam pemilu akan menuduh pihak yang menang melakukan kecurangan.
“Saya memang pernah mengatakan bahwa setiap pemilu pihak yang kalah selalu menuduh yang menang itu curang. Saya katakan itu pada beberapa kesempatan, yaitu saat KPU periode Hasyim Asyari dibentuk. Datang ke tempat saya, saya diberitahu bahwa ‘awas nanti ada gugatan bahwa pemilu ini curang’. Begitu juga saya pidato secara terbuka saat pembentukan TV pemilu di Trans TV pada awal tahun 2023,” kata Mahfud Md di FKUI, Salemba, Jakarta Pusat, Sabtu (17/2/2024).
Mahfud mengatakan sudah menyampaikan hal itu sebelum tahapan pemilu dimulai pada awal 2023. Namun, dia mengatakan hal itu tak boleh diartikan jika penggugat selalu kalah.
“Jadi saya katakan bahwa setiap pemilu yang kalah itu selalu menuduh curang itu sudah saya katakan di awal 2023. Tepatnya sebelum tahapan pemilu dimulai. Tapi jangan diartikan bahwa penggugat selalu kalah. Sebab memang sering terjadi kecurangan terbukti itu secara sah dan meyakinkan,” ujarnya.
Dia menyinggung pernah memutuskan pembatalan hasil pemilu saat menjadi Ketua Mahkamah Konstitusi (MK). Dia mengatakan pemilu ulang bisa dilakukan.
“Ketika saya menjadi ketua MK, MK pernah memutus pembatalan hasil pemilu dalam bentuk perintah pemilihan ulang maupun pembatalan penuh, sehingga yang menang dinyatakan diskualified dan yg kalah naik.
Jadi, bisa pemilu ulang, bisa,” tuturnya.
Mahfud memberikan tiga contoh. Salah satunya yakni pembatalan dan pelaksanaan ulang Pilkada Jawa Timur tahun 2008 antara Khofifah Indar Parawansa dan Soekarwo alias Pakde Karwo.
“Misalnya saya sebut contohnya, hasil Pemilukada Jawa Timur tahun 2008 saat Khofifah dinyatakan kalah dari Soekarwo, kita batalkan hasilnya dan diulang. Dua, hasil Pilkada Bengkulu Selatan yang menang didiskulifikasi yang bawahnya langsung naik. Tiga, hasil Pilkada Kota Waringin Barat sama dengan Bengkulu Selatan dan banyak lagi kasus di mana ada pemilihan ulang, terpisah, daerah tertentu, desa tertentu dan sebagainya,” kata Mahfud.
Dia mengatakan istilah pelanggaran tersturktur dan sistematis dalam pemilu muncul sebagai vonis pengadilan tahun 2008. Dia mengatakan vonis itu menjadi awal dasar dan landasan terbuktinya adanya pelanggaran tersturktur, sistematis dan masif dalam pemilu.
“Nah harus diingat bahwa untuk pertama kali istilah pelanggaran terstruktur, sistematis dan masif itu muncul sebagai vonis pengadilan di indonesia tahun 2008, ketika MK memutus sengketa Pilgub antara Khofifah dan Soekarwo, saya waktu itu hakimnya. Dan setelah menjadi dasar, vonis-vonis lain untuk selanjutnya masuk secara resmi di dalam hukum pemilu kita,” kata Mahfud.
“Jadi ini sudah menjadi yurisprudensi dan juga menjadi aturan di Undang-undang, di peraturan KPU, di peraturan Bawaslu itu ada. Pelanggaran terstruktur, sistematis dan masif itu. Jadi ini bukan hanya yurisprudensi sekali lagi, tetapi juga termasuk di dalam peraturan perundang-undangan. Dan buktinya banyak pemilu itu dibatalkan, didiskualifikasi,” imbuhnya.
Mahfud mengaku banyak menangani kasus pemilu dibatalkan dan didiskualifikasi. Menurutnya, pemilu ulang dapat dilakukan bergantung ada atau tidaknya bukti dan keberanian hakim menerima bukti tersebut.
“Saya nangani ratusan kasus tentang ini banyak, ada yang diulang beberapa ini, ada yang dihitung ulang dan sebagainya. Tergantung hakimnya punya bukti atau tidak. Atau kalau sudah punya bukti menerima bukti apa berani apa tidak,” ujarnya.
(*/Del)